πππ
ππPESAN CINTA SEDERHANA ❤
"Gratis Mbok ? ",
Barjo bertanya heran...
"Ya, kenapa ?
Makan aja apa yg kamu suka"
"Wah...terimakasih mbok. Terimakasih…"
Si Mbok tersenyum riang ketika memperhatikan Barjo, langganannya yg biasa berhutang di warungnya, sekarang menyantap makanan dgn lahapnya.
Mungkin kali ini pria itu dapat menikmati makanannya tanpa beban.
Keringat meleleh di keningnya.
"Jo..."
"Ya, Mbok apa ini hanya guyonan saja Mbok ?" Barjo melongo ke si Mbok dgn bingung dan mulut penuh terisi nasi.
Tapi si mbok tetap tersenyum.
"Ini catatan bon kamu ya?", kata si Mbok dgn tersenyum.
"Ya Mbok, aku ndak ada duit sekarang"
"Aku tahu. Kamu memang selalu ndak ada uang akhir-akhir ini.
Ya sudah, bon kamu aku hapus." jwb si mbok dgn tersenyum.
"Hapus?", teriak Barjo bengong.
"Wah, lelucon apa lagi ini Mbok.
Jangan bikin aku jantungan Mbok.
Gratis saja aku sdh bingung…
lah sekarang bonku dihapus, lagi"
"Ya ..kamu ndak perlu jantungan.
Terima aja.
Aku senang kok", jwb si mbok.
Hari itu ada sekitar 40 org yg sedang makan di warung mbok Mijah.
Mereka semua adalah supir bajay, pemulung, pedagang asongan, pengamen jalanan dan tukang minta-2 yg biasa nongkrong di sudut jalan.
Semua menikmati makanan dgn gratis.
Bahkan, sebagian dari mereka yg punya catatan hutang juga dinyatakan dihapus oleh si mbok.
Keceriaan jelas sekali terpancar diwajah si Mbok.
Pemandangan tsb di atas aku saksikan sendiri, sambil asyik menikmati kopi hangat.
Mereka yg datang seakan tidak memperdulikan aku.
Tapi tidak ada satupun ekspresi wajah dari mereka yg luput dari perhatianku.
Hari itu memang aku sengaja datang ke warung si Mbok.
Si Mbok hampir tidak percaya ketika aku datang pagi2, seblm para pelanggan berdatangan.
"Maksud mas ?", tanya si mbok dgn terkejut.
"Ya Mbok, aku ingin tahu berapa jumlah penjualan si mbok bila seluruh makanan habis terjual", tanyaku tanpa perduli keterkejutannya.
"Rp. 400ribu rupiah, Den. Tapi tidak semua si mbok terima krn sebagian dihutang".
"Ok, berapa jumlah catatan hutang dari semua pelanggan si mbok", tanyaku lagi.
"Ada Rp. 700ribu", jwbnya lagi dgn rasa bingung.
"Nah ini saya beri uang Rp.1.500.000", kataku sambil memberikan uang kepadanya.
"Oh...utk apa ini Mas…?" Sekarang dia benar-benar bingung.
"Aku hanya ingin memberikan uang ini kepada si Mbok.
Krn dlm keadaan sulitpun si Mbok msh bisa berbuat baik kpd orang lain.
Si mbok bisa memberi hutang kpd orang yg butuh makan walau si mbok sendiri tidak tahu kapan orang itu bisa membayarnya".
Sambil memperhatikan wajahnya yg berseri dalam kebingungan.
Ku pegang tangannya dan ku serahkan uang itu.
"Nah, apa yg akan si Mbok lakukan dgn uang ini", sambung ku.
"Si Mbok hanya ingin memberi kesempatan semua langganan makan gratis hari ini.
Menghapus semua hutang mereka", jawabnya.
"Mengapa?".
Sekarang aku yg bingung.
"Si Mbok orang miskin,
Si mbok pengen bersedekah tapi ndak pernah bisa.
Wong hidup juga sulit begini", katanya.
Ketika senja mulai beranjak malam.
Aku melangkah menjauhi sudut jalan itu.
Aku termenung.
ππ·ππ·ππ·π
*
"Kisah Sesaat di Lounge sebelum pesawat take off."
π
Seorang Bapak sekira usia 55 tahunan duduk sendiri di sebuah lounge menunggu pesawat yang akan menerbangkannya ke Jogja. Kami bersebelahan hanya berjarak satu kursi kosong. Sekira sekian menit, ia menyapa saya.
"Mas, hendak ke Jogja juga?"
"Iya, Pak. Bapak juga?"
"Iya."
"Bapak sendiri?"
"Iya." Senyumnya memasam. Menghela napas panjang. "Mas, kerja apa?"
"Saya serabutan, Pak," sahut saya sekenanya.
"Serabutan tapi mapan, ya?" Ia tersenyum. "Kalau saya mapan tapi jiwanya yg serabutan."
Saya tertegun. "Kok begitu, Pak?"
Ia pun mengisahkan, istrinya telah meninggal setahun lalu. Dia memiliki dua orang anak yang sudah besar-besar.
Yang sulung sudah mapan bekerja di Amsterdam, di sebuah perusahaan farmasi terkemuka dunia. Salah satu manajer.
Yang bungsu, masih kuliah di Singapura.
Tepat pada saat ia berkisah tentang rumahnya yang mentereng di wilayah Pondok Indah, Jakarta, yang hanya dihuni olehnya seorang, dikawani seorang pembantu dan suaminya yang sekaligus sopir pribadinya, ia menyeka kelopak mata dengan tisue.
"Mas jangan sampai mengalami hidup seperti saya, ya.
Semua yang saya kejar selama muda kini hanyalah kesia-siaan.
Tiada guna sama sekali dalam keadaan seperti ini.
Saya tak tahu harus berbuat apa lagi.
Tapi saya sadar, semua ini akibat kesalahan saya yang "selalu memburu duit, duit, dan duit, " sampai lalai mendidik anak tentang IMAN, IBADAH, SILATURAHIM, dan MENGABDI PADA ORANG TUA.
Hal yang paling menyesakkan dada saya ialah saat istri saya akan meninggal, anak kami yang sulung hanya berkirim SMS tak bisa pulang mendampingi akhir hayat mamanya gara-gara harus meeting dengan koleganya dari Swedia.
Sibuk.
Iya, sibuk sekali…."
"Bapak, Bapak yang sabar ya…." Adakah kalimat lain yang bisa saya ucapkan selain itu?
Ia tersenyum kecut. "Sabar sudah saya jadikan lautan terdalam dan terluas untuk membuang segala sesal saya, Mas.
Meski telat, saya telah menginsafi satu hal yang paling berharga dalam hidup manusia, yakni SANGKAN PARANING DUMADI./ SANG PENCIPTA YANG MAHA KUASA
BUKAN materi sebanyak apa pun.
Asal-usul dan hendak ke mana kita akhirnya.
Saya yakin, hanya dari Allah dan kepada-Nya kita kembali. Di luar itu, semu & sia2 semua. Tidak hakiki.
Mas bisa menjadikan saya contoh kegagalan hidup manusia yang merana di masa tuanya…."
Ia mengelus bahu saya.
– saya tiba-tiba teringat almarhum abah.
Di pesawat, seusai take off, saya melempar mata ke luar jendela, ke kabut-kabut yang berserak bergulung-gulung bertimbun-timbun bagai permadani putih.
Semua manusia sungguh hanya sedang menunggu giliran dijemput maut.
Manusia sama sekali tiada nilainya, tiada harganya, tiada artinya bagi semuanya akan sia sia....
Jadi carilah secukupnya
bukan sebanyak banyaknya...
Selamat Pagi.
π©☕ππ
*
PESAN CINTA SEDERHANA.
"Kisah Sesaat di Lounge sebelum pesawat take off."
No comments:
Post a Comment
Do U have another idea ?
LET'S SHARE 2 US.